Raja Si Singamangaraja I
Raja Manghuntal
Raja Si Singamangaraja I adalah anak dari Raja
Bonanionan Sinambela, yaitu anak dari Raja Bonanionan Sinambela, yaitu putra ke
tiga dan bungsu dari Raja Sinambela. Raja Bonanionan menikah dengan boru
Pasaribu. Walaupun mereka sudah lama menikah, tetapi mereka belum mempunyai
turunan. Karena itu boru Pasaribu pergi ke “Tombak Sulu-sulu” untuk marpangir
(keramas dengan jeruk purut).
Setiap kali selesai marpangir, boru Pasaribu
berdoa kepada “Ompunta” yang di atas, mohon belas kasihan agar dikaruniai
keturunan. Pada suatu hari, datanglah cahaya terbang ke Tombak Sulu-sulu dan
hinggap di tempat ketinggian yang dihormati di tempat itu. Yang datang itu
memperkenalkan diri, rupanya seperti kilat bercahaya-cahaya dan yang datang itu
adalah Ompunta Batara Guru Doli. Ompunta Tuan Batara Guru Doli berkata bahwa
boru Pasaribu akan melahirkan anak. Katanya: “Percayalah bahwa engkau akan
melahirkan seorang anak dan beri namanya Singamangaraja”. Kalau anakmu itu
sudah dewasa, suruh dia mengambil tanda-tanda kerajaan dari Raja Uti, berupa:
1. Piso gaja Dompak
2. Pungga Haomasan
3. Lage Haomasan
4. Hujur Siringis
5. Podang Halasan
6. Tabu-tabu Sitarapullang
Tidak lama kemudian boru Pasaribupun mulai mengandung. Setelah
mengandung selama 19 bulan boru Pasaribu melahirkan seorang putera. Sang Putra
ini lahir dengan gigi yang telah tumbuh dan lidah yang berbulu.
Semasa remajanya Singamangaraja banyak berbuat atau bertingkah yang
ganjil terutama pada orang yang tidak pemaaf, yang ingkar janji, melupakan
kawan sekampung yang lemah, membebaskan mereka yang tarbeang kalah berjudi.
Si Singamangarajapun pernah menunjukkan keheranan orang-orang yang
berpesta dimana gondangnya tidak berbunyi dan tanaman padi dan jagung akarnya
berbalik keatas mengikuti Si Singamangaraja saat jungkir balik dihariara
parjuragatan. Hal ini terjadi karena mereka itu melupakannya.
Setelah Singamangaraja meningkat dewasa maka ibunya boru Pasaribu
menyampaikan pesan dari Ompunta Batara Guru Doli bahwa Singamangaraja harus
mengambil tanda-tanda kerajaan dari Raja Uti. Dia tidak tahu di mana kampung
keramat Raja Uti demikian juga ibunya. Dia berangkat dengan berbekal doa yang
menunjukkan dan menuntun langkahnya ke tempat keramat tersebut.
Dalam perjalanan banyak hambatan demikian juga setiba di keramat kampung
Raja Uti yang ternyata ada di daerah Barus. Di sana juga dia dicoba tetapi
semua bisa diatasi dengan baik. Sisingamangaraja bertemu dengan Raja Uti dan
mereka makan bersama dan katanya: “Sudah benar ini adalah Raja dari orang
Batak”. Setelah selesai makan merekapun menanyakan silsilah (martarombo) dan Si
Singamangarajapun menyampaikan maksudnya dan disamping itu Sisingamangaraja
meminta beberapa ekor gajah. Atas maksud Si Singamangaraja itu, Raja uti
mengatakan akan memberikannya seperti pesan yang disampaikan Ompunta itu dengan
syarat Si Singamangaraja harus dapat menyerahkan daun lalang selebar daun
pisang, burung puyuh berekor dan tali yang terbuat dari pasir. Syarat-syarat
yang diminta
Raja Uti untuk mendapat tanda-tanda harajaon itu dapat dipenuhi semua
oleh Singamangaraja. Sedang mengenai permintaan akan gajah itu, Raja Uti
memberikannya asal Si Singamangaraja bisa menangkap sendiri. Si
Singamangarajapun memanggil gajah itu maka heranlah Raja Uti melihatnya. Dan
setelah itu dibawanya tanda-tanda harajaon itu pulang ke Bakara termasuk gajah
itu.
Dengan tanda-tanda harajaon itu, jadilah dia menjadi Raja Singamangaraja, singa mangalompoi, Singa naso halompoan.
Dengan tanda-tanda harajaon itu, jadilah dia menjadi Raja Singamangaraja, singa mangalompoi, Singa naso halompoan.
Raja Si Singamangaraja berikutnya;
Raja Sisingamangaraja I sampai Raja Si Singamangaraja IX tidak diketahui
kapan wafatnya dan dimana makamnya. Raja-raja ini setelah mempunyai keturunan
dan merasa sudah ada penggantinya pergi merantau dan Piso Gaja Dompak tidak
dibawanya. Mereka dipastikan telah wafat adalah melalui tanda-tanda alam yaitu
ada cabang dari Hariara Namarmutiha yang patah. Kalau ada cabang Hariara ini
yang patah berarti ada anggota keluarga yang meninggal dan kalau cabang utama
yang patah berarti Raja Si Singamangaraja telah tiada. Hariara Namarmutiha ini
dikenal juga sebagai Hariara Tanda dan sampai sekarang masih tumbuh di Bakara.
Biasanya keadaan ini diikuti dengan cuaca musim kemarau, sehingga
masyarakat mengharapkan turunnya hujan melalui tonggo-tonggo Raja
Sisingamangaraja. Si Onom Ompu (Bakara, Sinambela, Sihite, Simanullang, Marbun
dan Simamora) dari Bakara mempersiapkan upacara margondang lalu meminta
kesediaan putera Raja Si Singamangaraja untuk mereka gondangi.
Dengan memakai pakaian ulos batak Jogia Sopipot dan mengangkat pinggan
pasu berisi beras sakti beralaskan ulos Sande Huliman sebagai syarat-syarat
martonggo, putera raja inipun dipersilahkan memulai acara. Iapun meminta
gondang dan menyampaikan tonggo-tonggo (berdoa) kepada Ompunta yang di atas
untuk meminta turunnya hujan, kemudian manortorlah putera raja ini. Pada saat
manortor itu langitpun mendung dan akhirnya turun hujan lebat dan masyarakat Si
Onom Ompupun menyambutnya dengan kata HORAS HORAS HORAS. Kemudian piso Gaja
Dompak pun diserahkan kepadanya dan dicabut/dihunusnya dengan sempurna dari
sarangnya serta diangkatnya ke atas sambil manortor. Siapa di antara putera
raja itu yang bisa melakukan hal-hal di atas dialah yang menjadi Raja Si
Singamangaraja yang berikutnya, jadi tidak harus putera tertua.
Secara berturut-turut yang menjadi Raja Si Singamangaraja berikutnya dan
perkiraan tahun pemerintahannya adalah Sebagai berikut:
Ø Singamangaraja II, Ompu Raja Tinaruan
Ø Singamangaraja III, Raja Itubungna.
Ø Singamangaraja IV, Tuan Sorimangaraja.
Ø Singamangaraja V, Raja Pallongos.
Ø Singamangaraja VI, Raja Pangolbuk,
Ø Singamangaraja VII, Ompu Tuan Lumbut,
Ø Singamangaraja VIII, Ompu Sotaronggal
Ø Singamangaraja IX, Ompu Sohalompoan,
Ø Singamangaraja X, Ompu Tuan Na Bolon,
Ø Singamangaraja XI, Ompu Sohahuaon,
Ø Singamangaraja XII, Patuan Bosar, gelar Ompu Pulo
Batu,
Raja Si Singamangaraja X
Ompu Tuan Nabolon
Raja Si Singamangaraja X Ompu Tuan Nabolon mangkat karena dipenggal oleh
Si Pokki Nangolngolan atau Tuanku Rao, yang dengan akal liciknya mengundang
Raja Si Singamangaraja X untuk datang ke Butar. Pada pertemuan di Butar itulah
si Pokki memenggal leher Raja Sisingamangaraja X. Kepala Raja ini terbang
menghilang, terbang ke pangkuan ibundanya boru Situmorang. Oleh ibunya, secara
diam-diam dikuburkannya di dalam batu besar yang ada di Lumban Raja, karena
sebelumnya ia sudah berfirasat akan kejadian yang akan menimpa anaknya.
Adapun badan Raja Si Singamangaraja X yang terkapar di bukit parhorboan,
tertimbun tanah karena tiba-tiba bukit itu runtuh. Raja si Onom Ompu dengan
pengikut-pengikut yang mendampingi Raja Si Singamangaraja X pun melawan dan
sebagian teman si Pokki itu mangkat. Tetapi karena pasukan si Pokki yang
tadinya bersembunyi datang membantu si Pokki dan si Pokki menjadi lebih kuat,
melarikan dirilah mereka ke Gunung Imun. Si Pokki terus menyerang Bakara dan
banyak yang ditewaskannya baik yang dewasa maupun anak kecil.
Menurut pengakuan Pokki Nangolngolan (Tuanku Rao), dia adalah anak dari
saudara perempuan Raja Sisingamangaraja X yang pergi ke Bonjol. Pokki
Nangolngolan mengatakan bahwa dia sudah rindu pada tulangnya dan dia akan
memberinya makan (manulangi) dan akan memberikan piso-piso (uang) sebagai
persembahan. Karena kata-kata manis dari si Pokki inilah maka Raja
Sisingamangaraja X pergi ke butar. Walaupun pada awalnya Ia mengatakan kenapa
si Pokki tidak mendatanginya ke Bakara.
Karena tidak mendapatkan jenazah Raja Si Singamangaraja X, Tuanku Rao melanjutkan penyerangan ke Bakara. Banyak penduduk yang dibunuh. Pasukannya membumihanguskan seluruh daerah yang dilaluinya dari Butar ke Bakara termasuk istana Lumban Pande di Bakara.
Karena tidak mendapatkan jenazah Raja Si Singamangaraja X, Tuanku Rao melanjutkan penyerangan ke Bakara. Banyak penduduk yang dibunuh. Pasukannya membumihanguskan seluruh daerah yang dilaluinya dari Butar ke Bakara termasuk istana Lumban Pande di Bakara.
Isteri Raja Si Singamangaraja X yang pertama yaitu boru Situmorang
dengan 2 orang anaknya yang masih kecil melarikan diri ke Lintong Harian Boho
ke kampung orangtuanya Situmorang. Sedang isterinya yang kedua bermarga boru
Nainggolan beserta anaknya Raja Mangalambung diculik si Pokki bersama anak-anak
yang lain yang diduganya sebagai anak Raja Si Singamangaraja X. Mereka dibawa
ke arah tenggara dalam perjalanan kembali ke Bonjol. Dalam perjalanannya di
daerah Tapanuli Selatan sedang terjadi wabah penyakit menular (begu antuk) yang
juga mengenai/menyerang pasukan Tuanku Rao sehingga kacau balau. Tawanannya
tercecer di Tapanuli Selatan. Sebagian dari yang tercecer ini membuat
perkampungan di daerah di Tapanuli Selatan ini.
Raja Si Singamangaraja XI
Ompu Sohahuaon
Belum lagi selesai penderitaan akibat serangan si Pokki terjadi pula
musim kemarau yang berkepanjangan. Masyarakat Si Onom Ompu bersepakat
menyampaikan hal ini kepada boru Situmorang dan memintanya kembali ke Bakara.
Setelah boru Situmorang membawa kedua anaknya kembali, masyarakatpun meminta
agar Ompu Sohahuaon mereka gondangi untuk turunnya hujan.
Acara margondangpun dipersiapkan dengan baik dan Ompu Sohahuaon yang
masih kecil tampil dengan berpakaian ulos Batak. Boru Situmorang dan masyarakat
si Onom Ompu kaget dan kagum, karena Ompu Sohahuaon yang masih kecil itu mampu
meminta gondang dan mengucapkan tonggo-tonggo untuk turunya hujan. Merekapun
mengelu-elukan dengan manortor. Haripun menjadi gelap karena mendung dan
hujanpun turun dengan lebat. Ompu Sohahuaon terus manortor sampai berakhir
gondang yang dipintanya. Kemudian diserahkan Piso Gaja Dompak kepadanya dan
manortor kembali sambil menghunus Piso Gaja Dompak dengan sempurna dan
disarungkan kembali. Ompu Sohahuaon dinobatkan menjadi Raja Si Singamangaraja
XI dalam usia 10 tahun.
Pada masa pemerintahan Raja Si Singamangaraja XI disusun “Pustaha
Harajaon (pustaka kerajaan)” archief Bakara yang ditulis dengan dawat/tinta
cina diatas kertas Watermark ukuran folio buatan Itali dalam tulisan dan bahasa
Batak. Pustaka ini dibuat atas bimbingan dari Ompu Sohahuaon sendiri. Pustaha
harajaon ini terdiri atas 24 jilid, setiap jilidnya tebalnya sekitar 5 Cm yang
isinya secara secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut:
* Jilid 1 s/d 3: Pemerintahan Tuan Sorimangaraja selama 90 turunan mulai
dari Putri Tapi Donda Nauasan.
* Jilid 4 s/d 7: Pemerintahan kerajaan Singamangaraja SSM I s/d SSM IX.
* Jilid 8: Perihal Pedang Padri Tuanku Rao terhadap Tuan Nabolon SSM X
* Jilid 9: Perihal Pongkinangolngolan dan Datu Aman Tagor Simanullang.
* Jilid 11 s/d 12: Perihal Pendeta Pilgram, pembunuhan atas diri Pendeta
Lyman dan Munson oleh Raja Panggalamei.
* Jilid 13-16: Periode pembangunan kembali ibu kota kerajaan Bakara dan
daerah-daerah Toba tahun 1835-1845 atas pembumi hangusan perang bonjol.
* Jilid 17: Perihal Dr. Junghun, van der Tuuk yang datang menjumpai SSM
XI dan perihal photonya.
* Jilid 18 s/d 24: Penobatan Ompu Sohahuaon menjadi SSM XI, pemerintahannya sampai tahun 1886 dan perihal penyakit menular yang dahsyat di tanah Batak.
* Jilid 18 s/d 24: Penobatan Ompu Sohahuaon menjadi SSM XI, pemerintahannya sampai tahun 1886 dan perihal penyakit menular yang dahsyat di tanah Batak.
Pada tahun 1884 Pustaha Harajaon ini ditemukan dari tumpukan rumah
kerajaan yang dibakar oleh tentera Belanda. Dibawa ke Holland oleh Pendeta
Pilgrams dan sekarang ada di Museum Perpustakaan Pemerintah Belanda di Leiden
Holland.
Pustaha Harajaon tidak diteruskan penulisannya oleh SSM XII sebab tidak
ada kesempatan, karena semenjak awal pemerintahannya, Koloni Belanda telah
melancarkan agresinya di tanah Batak dan sekitarnya, sehingga Ompu Pulobatu
berperang selama 30 tahun sampai tewasnya dalam usia 59 tahun pada 17 juni
1907.
Raja Si Singamangaraja XI Ompu Sohahuaon menikah dengan boru Aritonang
sebagai isteri pertama yang melahirkan Raja Parlopuk . Isteri kedua adalah boru
Situmorang yang melahirkan Patuan Bosar gelar Ompu Pulo Batu. Beda umur Raja
Parlopuk dengan Patuan Bosar sangat jauh, ada sekitar 15 tahun.
Ketika Ompu Sohahuaon jatuh sakit, maka jalan pemerintahan dilaksanakan oleh Raja Parlopuk. Cukup lama Raja Parlopuk memegang tugas itu dan dilaksanakannya dengan baik. Tahun 1866 Ompu Sohahuaoan meninggal di Bakara dan dibangun makamnya oleh Raja Parlopuk dengan Si Onom Ompu di Lumban Raja. Makam inilah yang pertama ada di Bakara karena SSM I hingga SSM IX tidak diketahui meninggal di mana. Waktu Raja Si Singamangaraja XI meninggal, Patuan Bosar sedang merantau ke Aceh.
Ketika Ompu Sohahuaon jatuh sakit, maka jalan pemerintahan dilaksanakan oleh Raja Parlopuk. Cukup lama Raja Parlopuk memegang tugas itu dan dilaksanakannya dengan baik. Tahun 1866 Ompu Sohahuaoan meninggal di Bakara dan dibangun makamnya oleh Raja Parlopuk dengan Si Onom Ompu di Lumban Raja. Makam inilah yang pertama ada di Bakara karena SSM I hingga SSM IX tidak diketahui meninggal di mana. Waktu Raja Si Singamangaraja XI meninggal, Patuan Bosar sedang merantau ke Aceh.
Makam ini dibongkar oleh Raja Si Singamangaraja XII karena Bakara
diserang Belanda. Tulang belulang Raja Si Singamangaraja XI dibawanya ikut
berjuang ke hutan, karena tidak ingin tengkorak orang-tuanya diambil oleh
Belanda. Semasa perjuangan tulang-belulang ini di titipkan di huta Janji Dolok
Sanggul lalu dipindahkan lagi ke Huta Paung. Setelah zaman kemerdekaan, kembali
di pindahkan di rumah Soposurung.
Kira-kira 105 tahun kemudian, makam ini dibangun kembali oleh keluarga
Raja Sisingamangaraja dan pada tahun 1975 tulang belulang Raja Sisingamangaraja
XI dan istrerinya dimakamkan kembali ke makam semula di Bakara. Raja Parlopuk
terus melaksanakan pemerintahan Singamangaraja hingga tahun 1871, yaitu setelah
dinobatkannya Patuan Bosar sebagai Raja Sisingamangaraja XII.
Raja Si Singamangaraja XII
Patuan Bosar gelar Ompu Pulo Batu
Walaupun Raja Si Singamangaraja XI telah meninggal, Si Onom Ompu tidak
merasa ada yang kurang dalam pemerintahan, karena Raja Parlopuk bekerja dengan
cukup baik. Tetapi ketika musim kemarau datang dan membawa penderitaan,
mulailah si Onom Ompu berfikir untuk adanya acara margondang. Raja Parlopukpun
mereka persilahkan untuk mereka gondangi agar dia martonggo memohon turun
hujan. Tetapi hujan tidak turun-turun juga.
Mulanya Ompu Pulo Batu tidak bersedia mereka gondangi karena merasa
bahwa abangnya itu telah sebagai raja pengganti ayahnya. Akhirnya Ompu Pulo
Batu bersedia karena melihat penderitaan yang diderita masyarakat Si Onom Ompu.
Setelah melaksanakan upacara seperti yang biasa dilakukan, Ompu Pulobatu
berhasil mendatangkan hujan. Ompu Pulo Batupun dinobatkan menjadi Raja Si
Singamangaraja XII pada tahun 1871.
Ompu Pulo Batu lahir tahun 1848 dari ibunya boru Situmorang. Pada saat
pemuda, Ompu Pulo Batu merantau ke Aceh, disana bergaul dengan pedagang dari
Persia dan belajar banyak hal. Karena itu ketika perang melawan Belanda, Raja
Si Singamangaraja XII dibantu oleh pejuang-pejuang dari Aceh, Dan dalam
cap/stempelnya dipakai Bahasa Arab dan Bahasa Batak.
Pada tahun 1877 Raja Si Singamangaraja XII menyatakan perang kepada
Belanda. Kemudian dia menjalankan perang terhadap Belanda selama 3 dasawarsa.
Posting Komentar
Posting Komentar